Kamis, 18 Juni 2015

Penerapan Taksonomi Bloom Pada Kemampuan Membaca Siswa Dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia



PENERAPAN TAKSONOMI BLOOM PADA KEMAMPUAN MEMBACA SISWA DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA

MAKALAH

Oleh :
Rena Perwitasari                               (140210402033)




PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2015

KATA PENGANTAR


            Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kita sehingga  berhasil menyelesaikan makalah ini yang berjudul, “Penerapan Taksonomi Bloom Pada Kemampuan Membaca Siswa Dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia”.
Makalah  ini berisikan tentang implikasi taksonomi bloom dpada kemampan membaca siswa yang akan penulis bahas lebih dalam.
Akhir kata, penulis sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini.

                                                                        Jember, 11 juni

                                                                        Penulis




 


BAB I PENDAHULUAN
1.1    Latar Belakang
Kegiatan membaca merupakan aktifitas mental memahami apa yang dituturkan pihak lain melalui sarana tulisan. Jika dalam kegiatan menyimak diperlukan pengetahuan tentang sistem bunyi bahasa yang bersangkutan, dalam kegiatan membaca diperlukan diperlukan pengetahuan tentang sistem penulisan, khususnya yang menyangkut huruf dan ejaan.
Kegiatan membaca merupakan aktifitas berbahasa yang bersifat reseptif kedua setelah menyimak. Hubungan antara penutur (penulis) dengan penerima (pembaca) bersifat tidak langsung, yaitu melalui lambang tulisan. Penyampaian informasi melalui saranana tulis untuk berbagai keperluan dalam abad modern ini merupakan suatu hal yang tak dapat ditinggalkan. Berbagai informasi entah itu berupa berita, cerita, ataupun ilmu pengetahuan sangat efektif diumumkan melalui sarana tulis, baik dalam bentuk surat kabar, majalah, surat selebaran, buku-buku cerita, buku pelajaran, literatur, dan sebagainya. Dengan demikian, aktivitas membaca tentang berbagai sumber informasi tersebut akan sangat membuka dan memperluas dunia dan horison seseorang.
Dalam dunia pendidikan aktivitas dan tugas membaca merupakan suatu hal yang tidak dapat ditawar-tawar. Sebagian besar pemerolehan ilmu dilakukan siswa dan terlebih lagi mahasiswa melalui aktivitas membaca. Keberhasilan studi seseorang akan sangat ditentukan oleh kemampuan dan kemauaan membacanya. Bahkan setelah seorang siswa menyelesaikan studinya, kemampuan dan kemauan membacanya tersebut akan sangat memengaruhi keluasan pandangan tentang berbagai masalah. Oleh karena itu, pengajaran bahasa yang mempunyai tugas membina dan meningkatkan kemampuan membaca siswa hendaknya menaruh perhatian yang cukup terhadap usaha peningkatan kemampuan dan kemamuaan membaca para siswa. Tes kemampuan membaca dimaksudkan untuk mengukur tingkat kemampuan kognitif siswa memahami wacana terulis.

1.2    Rumusan Masalah

a)         Apa pengertian taksonomi ?
b)        Apakah yang dimaksud Taksonomi Tujuan Pendidikan?
c)         Apa saja tingkatan atau level proses kognitif menurut teori Taksonomi Bloom?
d)        Bagaimanakah Taksonomi Bloom dalam kemampuan membaca?
e)         Bagaimana  cara penerapan taksonomi bloom dalam proses pembelajaran Bahasa Indonesia tentang kemampuan membaca?

1.3  Tujuan

1)      Mengetahui pengertian Taksonomi
2)      Untuk mengetahui Taksonomi Tujuan Pendidikan
3)      Mengetahui tingkatan atau level proses kognitif menurut teori Taksonomi Bloom
4)      Mengetahui taksonomi Bloom untuk tugas membaca
5)      Mengetahui cara penerapan taksnonomi bloom dalam proses pembelajaran Bahasa Indonesia tentang kemampuan membaca







BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Taksonomi

Taksonomi berasal dari bahasa Yunani tassein berarti untuk mengklasifikasi dan nomos yang berarti aturan. Taksonomi berarti klasifikasi berhirarki dari sesuatu atau prinsip yang mendasari klasifikasi. Semua hal yang bergerak, benda diam, tempat, dan kejadian sampai pada kemampuan berpikir dapat diklasifikasikan menurut beberapa skema taksonomi.
Konsep Taksonomi Bloom dikembangkan pada tahun 1956 oleh Benjamin Bloom, seorang psikolog bidang pendidikan. Konsep ini mengklasifikasikan tujuan pendidikan dalam tiga ranah, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Ranah kognitif meliputi fungsi memproses informasi,pengetahuan dan keahlian mentalitas.
Ranah afektif meliputi fungsi yang berkaitan dengan sikap dan perasaan. Sedangkan ranah psikomotorik berkaitan dengan fungsi manipulatif dan kemampuan fisik.
Ranah kognitif menggolongkandan mengurutkan keahlian berpikiryang menggambarkan tujuan yang diharapkan. Proses berpikir mengekspresikan tahap-tahap kemampuan yang harus siswa kuasai sehingga dapat menunjukan kemampuan mengolah pikirannya sehungga mampu mengaplikasikan teori kedalam perbuatan. Mengubah teori kedalam keterampilan sehingga dapat menghasilkan sesuatu yang baru sebagai produk inovasi pikirannya.Memahami sebuah konsep berarti dapat mengingat informasi atau ilmu mengenai konsep itu. Seseorang tidak akan mampu mengaplikasikan ilmu dan konsep jika tanpa terlebih dahulu memahami isinya.

2.2    Taksonomi Tujuan Pendidikan

Proses pembelajaan di kelas merupakan inti dari kegiatan pendidikan di sekolah sebelum pelaksanaan pembelajaran guru perlu merumuskan tujuan pembelajaran yang akan dicapai. Tujuan pembelajaran tersebut perlu lebih awal diinformasikan kepada siswa. Apabila dalam pengajaran tidak disebutkan tujuannya, siswa tidak tahu mana pelajaran yang penting manapun yang tidak.Taksonomi tujuan pendidikan merupaka suatu kategori tujuan pendidikan yang umumnya digunakan sebagai dasar untuk merumuskn tujuan kurikulum dan tujuan pembelajaran.
Taksonomi tujuan terdiri domain – domain kognitif, afektif dan psikomotor. Berbicara tentang taksonomi perilaku siswa siswa sebagai tujuan belajar. Saat ini para ahli pada umumnya  sepakat untuk menggunakan pemikiran dari Bloom (Gulo, 2005)sebagai tujuan pembelajaran yang dikenal dengan dengan taksonomi Bloom ( Bloom’s Taxson omy). Menurut Bloom perilaku individu dapat diklasifikasikan ke dalam 3 ranah, yaitu :
a)        Ranah kognitif; ranah yang berkaitan dengan aspek-aspek intelektual atau  berfikir/nalar, di dalamnya mencakup: pengetahuan (knowledge), pemahaman ( comprehension ), penerapan (application),penguraian (analysis), memadukan (  synthesis ), dan penilaian (evaluation);
b)      Ranah afektif; ranah yang berkaitan dengan aspek-aspek emosional, seperti perasaan, minat, sikap, kepatuhan terhadap moral dan sebagainya, di dalamnya mencakup: penerimaan ( receiving/attending ), sambutan ( responding ),  penilaian ( valuing  ), pengorganisasian (organization), dan karakterisasi (characterization); dan
c)      .Ranah psikomotor; ranah yang berkaitan dengan aspek-aspek keterampilan yang melibatkan fungsi sistem syaraf dan otot (neuronmuscular system) dan fungsi psikis. Ranah ini terdiri dari : kesiapan (  set  ), peniruan (imitation).
membiasakan ( habitual  ), menyesuaikan (adaptation) dan menciptakan (origination). Taksonomi ini merupakan kriteria yang dapat digunakan oleh guru untuk mengevaluasi mutu dan efektivitas pembelajarannya.

2.3  Tingkatan Atau Level Proses Kognitif Menurut Teori Taksonomi Bloom

Taksonomi pendidikan lebih dikenal dengan sebutan “Taksonomi Bloom”Taksonomi pertama kali disusun oleh Benjamin S. Bloom dan kawan – kawan pada tahun 1956. Sejarahnya bermula ketika pada awal tahun 1950-an, dalam Konferensi Asosiasi Psikolog Amerika,sebagai kelanjutan kegiatan serupa tahun 1948, Bloom dan kawan – kawan mengemukakan bahwa presentase terbanyak butir soal evaluasi hasil belajar yang banyak disusun di sekolah hanya meminta siswa untuk mengutarakan hapalan mereka. Hapalan tersebut sebenarnya merupakan taraf terendah kemampuan berfikir ( menalar, “thinking behaviors”). Artinya, masih ada taraf lain yang lebih tinggi.
Bloom,Englehart,Furst,Hill,dan Krathwohl kemudian pada tahun 1956 merumuskan ada tiga golongan domain kemampuan (intelektual,”intellectual behaviors”) yaitu ranah kognitif,afektif,dan psikomotor.Beberapa istilah lain juga menggambarkan hal yang sama dengan ketiga domain tersebut diantaranya seperti yang di ungkapkan oleh Ki Hajar Dewantoro, yaitu : cipta, rasa, dan karsa. Selain itu juga dikenal istiah : penalaran,penghayatan,dan pengamalan. Dalam pendidikan, Taksonomi dibuat untuk mengklasifikasikan tujuan pendidikan dibagi menjadi beberapa kategori dan subkategori yang berurutan secara hirarkis (bertingkat),mulai  dari tingkah laku dalam setiap tingkat diasumsikan menyertakan juga tingkah dari tingkat yang lebih rendah.

2.3.1  Cognitive Domain (Ranah Kognitif)

Cognitive Domain adalah yang berisi perilaku – perilaku yang menekankan aspek intelektual, Seperti pengetahuan,pengertian, dan keterampilan berpikir. Ranah kognitif meliputi fungsi memproses informasi,pengetahuan, dan keahlian mentalis. Ranah kognitif menggolangkan dan mengurutkan keahlian berpikir yang menggambarkan tujuan yang di harapkan. Proses berpikir mengekspresikan tahap – tahap kemampuan yang harus siswa kuasai sehingga dapat menunjukan kemampuan mengolah pikirannya sehingga mampu mengaplikasikan teori kedalam perbuatan. Mengubah teori keterampilan terbaiknya sehingga dapat menghasilkan sesuatu yang baru sebagai produk inovasi pikirannya.
Bloom membagi Domain kognisi ke dalam 6 tingkatan. Domain ini terdiri dari dua bagian : Bagian pertama beruapa pengetahuan (kategori 1) dan bagian ke dua berupa kemampuan dan keterampilan intelektual (kategori 2-6).
a)      Pengetahuan (Knowledge)
Berisikan kemampuan untuk mengenali dan mengingat peristilahan, definisi, fakta-fakta, gagasan, pola, urutan, metodologi, prinsip dasar, dan sebagainya. Sebagai contoh, ketika diminta menjelaskan manajeman kualitas, orang yang berada di level ini bisa menguraikan dengan baik definisi dari kualitas,karakteristik produk yang berkualitas, standar kualitas minimum untuk produk, dan sebagainya.
b)      Pemahaman (Comprehension)
Dikenali dari kemampuan untuk membaca dan memahami gambaran, laporan, tabel, diagram, arahan, peraturan, dan sebagainya. Sebagai contoh, orang dilevel ini bisa memahami apa yang diuraikan dalam fish bone diagram, pareto chart, dan sebagainya.
c)      Aplikasi (Application)
Di tingkat ini, seseorang memiliki kemampuan untuk menerapkan gagasan, prosedur, metode, rumus, teori di dalam kondisi kerja. Sebagai contoh,ketika diberi informasi tentang penyebab meningkatnya reject di produksi, seseorang yang berada di tingkat aplikasi akan mampu merangkum dan menggambarkan penyebab turunnya kualitas dalam bentuk fish bone diagram.
d)     Analisis (Analysis)
Di tingkat analisis, seseorang akan mampu menganalisa informasi yang masuk dan membagi – bagi atau menstukturkan informasi ke dalam bagian yang lebih kecil untuk mengenalipola atau hubunganny, dan mampu mengenali serta membedakan factor penyebab dan akibat dari sebuah scenario yang rumit. Sebagai contoh, di level ini seseorang akan mampu  memilih – milih penyebab meningkatnya reject, membanding – bandingkan tingkat keparahan dari setiap penyebab, dan menggolongkan setiap penyebab kedalam tingkat keparahan yang di timbulkan.
e)      Sintesis (synthesis)
Satu tingkat di atas analisa, seseorang di tingakat sintesa akan mampu menjelaskan struktur atau pola dari sebuah scenario yang sebelumnya tidak terlihat, dan mampu mengenali data informasi yang harus didapat untuk menghasilkan solusi yang dibutuhkan. Sebagai contoh, di tingkat ini seorang manajer kualitas mampu memberikan solusi untuk menurunkan tinkat reject diproduksi berdasarkan pengamatannya terhadap semua penyebab turunnya kualitas produk.
f)       Evaluasi (Evaluation)
Dikenal dari kemampuan untuk memberikan penilaian terhadap solusi, gagasan, metodologi, deng[an menggunakan kriteria yang cocok atau standar yang ada untuk memastikan nilai efektifitas atau manfaatnya. Sebagai contoh, di tingkat ini seorang manager kualitas harus mampu menilai alternatif solusi yang sesuai untuk di jalankan berdasarkan efektifitas, urgensi, nilai manfaat, nilai ekonomis .

2.3.2  Affective Domain (Ranah Afektif)

Affective Domain berisi perilaku – perilaku yang menekankan aspek perasaan dan emosi, seperti minat, sikap, apresiasi, dan cara penyesuaian diri. Pembagian domain ini disusun Bloom bersama dengan David Krathwol.
a)      Penerimaan (Receiving/Attending)
Kesediaan untuk menyadari adanya suatu fenomena di lingkungannya.Dalam pengajaran bentuknya berupa perhatian, mempertahankannya, dan mengarahkannya.
b)      Tanggapan (Responding)
Memberikan reaksi terhadap fenomena yang ada dilingkungannya. Meliputi perswetujuan, kesediaan, dan kepuasan dalam memberikan tanggapan.
c)      Penghargaan (Valuing)
Berkaitan dengan harga atau nilai yang diterapkan pada suatu objek, fenomena, atau tingkah laku. Penilaian berdasarkan pada internalisai dari serangkain nilai tertentu yang diekspresikan kedalam tngkah laku.
d)     Pengorganisasian (Organization)
Memadukn nilai-nilai yang berbeda, menyelesaikan konflik diantaranya,dan membentuk suatu system nilai yang komsisten.
e)      Krakterisasi Berdasarkan Nilai-nilai (Characterization by a value or value Complex)
Memiliki system nilai yang mengendalikan tingkah-lakunya sehingga menjadi karakteristik gaya hidupnya.

2.3.3  Psyicomotor Domain (Ranah Psikomotor)

Psyicomotor Domain berisi perilaku – perilaku yang menekankan aspek keterampilan motorik seperti tulisan tangan, mengetik, berenang, dan mengoprasiakanmesin. Rincian dalam domain ini tidak dibuat oleh Bloom. tapi oleh ahli lain berdasarkan domain yang dibuat Bloom.
a)      Persepsi (Perception)
Penggunaan alat indera untuk menjadi pegangan dalam membatu gerakan.
b)      Kesiapan (Set)
Kesiapan fisik, mental, dan emosional untuk melakukan gerakan.
c)      Respon Terpimpin (Guided Response)
Tahap awal dalam mempelajari keterampilan yang kompleks, termasuk di dalamnya imitasi dan gerakan coba-coba.
d)     Mekanisme (Mechanism)
Membiasakan gerakan-gerakan yang telah dipelajari sehingga tampil dengan meyakinkan dan cakap.
e)      Respon Tampak yang Kompleks (Complex overt Response)
Gerakan motoris yang terampil,yang di dalamnya terdiri dari pola-pola gerakan yang kompleks.
f)       Penyesuaian (Adaptation)
Keterampilan yang sudah berkembang sehingga dapat disesuaikan dalam  berbagai situasi.
g)      Penciptaan (Origination)
Membuat pola gerakan baru yang disesuaikan dengan situasi atau permasalahan tertentu.

2.4   Taksonomi Bloom Dalam Kemampuan Membaca

Pengajaran membaca biasanya dikaitkan dengan ketiga taksonomi Bloom, yaitu aspek kognitif, afektif, dan psikomotor. Tugas kognitif berupa memahami bacaaan secara tepat dan kritis, atau berupa kemampuan membaca. Tugas afektif berhubungan dengan sikap dan kemauan siswa untuk membaca. Sedang tugas psikomotor berupa aktifitas fisik siswa sewaktu membaca.
Sikap dan kemauan yang merupakan bagian efektif itu akan sangat mempengaruhi dua aspek yang lain, kognitif dan psikomotor. Dalam kaitannya dengan pengejaran membaca di sekolah, kita perlu juga “mengukur” sikap dan kemauan membaca siswa. Penilaian terhadap hal-hal yang berkaitan dengan masalah sikap tidak mempergunakan teknik tes, melainkan teknik nontes. Tehnik yang dipergunakan dapat berupa wawancara, angket, pertanyaan dan pernyataan dengan skala bertingkat, pengamatan, dan sebagainya.
Pelaksanaan penilaian masalah sikap tersebut tentulah tidak semata-mata ditujukan pada aktivitas membaca saja, melainkan sekaligus dengan berbagai aktivitas berbahasa yang lain. Dengan demikian, masalah membaca hanya merupakan salah satu aspek Dari berbagai aspek yang akan dinilai. Penilaian terhadap sikap terhadap membaca itu hendaklah dilakukan dalam proses pengajaran secara berkesinambungan, dan bahkan tidak perlu diikutsertakan dalam tes sumatif.

2.5    Penerapan Taksonomi Bloom Dalam Proses Pembelajaran Bahasa Indonesia Tentang Kemampuan Membaca
Kemampuan membaca adalah kemampuan untuk memahami informasi yang terkandung dalam wacana. Kegiatan memahami informasi itu sendiri sebagai suatu aktivitas kognitif dapat dilakukan atau dibuat secara berjenjang, mulai dari tingkat ingatan (C1) sampai dengan tingkat evaluasi (C6). Adapun tingkatan-tingkatan tes kognitif yang di maksud dalam tes kemampuan membaca, antara lain :
1.      Kemampuan membaca tingkat ingatan
Kemampuan membaca pada tingkat ingatan hanyalah kemampuan sekedar menghendaki siswa/responden/testee untuk menyebutkan kembali fakta, definisi, atau konsep yang terdapat di dalam wacana yang diujikan tanpa harus mengerti atau dapat menilai atau menggunakannya (Ngalim, 2009 : 44). Oleh karena itu, fakta, definisi atau konsep yang terdapat dalam wacana harus dibaca berkali-kali. Pada hakikatnya tes tingkat ingatan tersebut hanya sekedar mengenali, menemukan, dan memindahkan fakta yang ada pada wacana ke lembar jawaban yang dituntut.
Bahan bacaan yang diteskan tidak harus berupa teks prosa saja, melainkan juga dapat berbentuk dialog (drama) atau pun teks puisi. Oleh karena sifatnya yang hanya menyebutkan kembali fakta atau definisi yang ada dalam teks, tes tingkat ingatan ini tidak begitu disarankan, atau paling tidak dibatasi jumlahnya. Dilihat dari segi bentuknya tipe tes yang paling banyak dipakai untuk mengungkap pengetahuan hafalan atau ingatan adalah tipe tes melengkapi (completion type), tipe isian (fill-in) dan tipe dua pilihan (true-false).
Contoh :
Pemindahan unsur-unsur kebahasaan dari satu bahasa ke bahasa yang lain dapat menimbulkan pengaruh positif, negatif, dan netral. Pemindahan secara positif terjadi jika unsur bahasa yang diterima mempunyai kesamaan dengan bahasa penerima dan menghasilkan penampilan yang benar serta membantu kelancaran komunokasi. Pemindahan yang bersifat menguntungkan inilah yang disebut pemungutan. Pemindahan yang bersifat negatif terjadi jika unsur-unsur kebahasaan yang diterima tidak mempunyai kesamaan dengan bahasa penerima dan menghasilkan tindak berbahasa yang tidak benar karena terjadi dislokasi struktural, dan menyebababkan terjadinya ganguan komunikasi yang disampaikan. Pemindahan yang bersifat negatif inilah yang disebut interferensi. Pemindahan yang bersifat netral terjadi jika pemindahan unsur-unsur kebahasaan itu tidak memengaruhi kelancaran atau hambatan komunikasi dalam bahasa penerima.
2.      Kemampuan membaca tingkat pemahaman
Tes pemahaman ini adalah tingkat kemampuan yang mengharapkan atau menuntut siswa/testee untuk dapat memahami arti atau konsep, situasi, serta fakta yang diketahuinya dalam wacana yang dibacanya (Ngalim, 2009 : 44). Pemahaman yang dilakukan pun dimaksudkan untuk memahami isi bacaan, mencari hubungan antarhal, sebab akibat, perbedaan dan persamaan antarhal, dan sebagainya.
Penyusunan tes ini hendaklah tidak dilakukan sekedar mengutip kalimat dalam konteks secara verbatim, melainkan parafrasenya. Dengan demikian siswa tidak sekedar mengenali dan mencocokan jawaban dengan teks saja melainkan dituntut untuk dapat memahaminya. Kemampuan siswa memahami dan memilih parafrase secara tepat merupakan bukti bahwa siswa mampu memahami bacaan yang diujikan.
Butir-butir tes kemampuan membaca hendaklah bersifat memaksa siswa untuk benar-benar membaca dan memahami bacaan. Artinya, jangan sampai terjadi ada suatu butir tes yang dapat secara tepat tanpa siswa harus membaca wacana terlebih dahulu.
3.      Kemampuan membaca tingkat penerapan
Dalam tingkat aplikasi atau penerapan, secara umum testee/responden dituntut kemampuannya untuk menerapkan atau menggunakan apa yang telah diketahuinyadalam suatu situasi yang baru baginya. Dengan kata lain, aplikasi adalah penggunaan abstraksi pada situasi konkret atau situasi khusus. Absraksi tersebut dapat berupa ide, teori atau petunjuk teknis (Ngalim, 2009 : 45).
Tes tingkat penerapan (C3) menghendaki siswa untuk mampu menerapkan pemahamannya (C2) pada situasi atau hal yang lain yang ada kaitannya. Dalam tes ini siswa dituntut untuk mampu menerapkan atau memberikan contoh baru. Misalnya tentang suatu konsep, pengertian atau pandangan yang ditunjuk dalam wacana. Kemampuan siswa memberikan contoh, demonstrasi, atau hal-hal lain yang sejenis merupakan bukti bahwa siswa telah memahami isi wacana yang bersangkutan.
4.      Kemampuan membaca tingkat analisis.
Kemampuan ini menuntut siswa untuk mampu menganalisis atau menguraikan suatu integritas atau informasi tertentu dalam komponen-komponen atau unsur-unsur pembentuk wacana, mengenali, mengindentifikasi, atau membedakan pesan dan atau informasi dan sebagainya yang sejenis. Aktivitas kognitif yang dituntut dalam tugas ini lebih dari sekedar memahami isi wacana. Pemahaman yang dituntut adalah pemahaman yang kritis dan terinci sampai pada bagian-bagian yang lebih khusus.
Kemampuan memahami wacana untuk tingkat analisis antara lain berupa kemampuan menentukan pikiran pokok dan pikiran-pikiran penjelas dalam sebuah alinea, menentukan kalimat yang berisi pikiran pokok, jenis alinea berdasarkan letak kalimat pokok, meneunjukan tanda penghubung antar alinea, dan sebagainya.
5.      Kemampuan membaca tingkat sintesis
Yang dimaksud dengan sintesis adalah penyatuan unsur-unsur atau bagian-bagian kedalam suatu bentuk yang menyeluruh (Ngalim, 2009 : 46).  Dengan kemampuan sintesis seseorang dituntut untuk dapat menemukan hubungan kausal atau urutan tertentu. Pada tes kemampuan membaca tingkat sintesis ini menuntut siswa/testee untuk mampu menghubungkan atau menggeneralisasikan antar hal-hal, konsep, masalah, atau pendapat yang terdapat didalam wacana. Aktifitas kognitif tingkat sintesis ini berupa kegiatan untuk menghasilkan komunikasi yang baru, meramalkan, dan meyelesaikan masalah. Aktivitas kognitif tingkat sintesis merupakan aktivitas tingkat tinggi dan kompleks. Tes yang diberikan pun menuntut kerja kognitif yang tidak sederhana, maka pada setiap siswa mampu berpikir atau mengerjakan, tugas-tugas yang diberikan dengan baik.
Hasil kerja kognitif tingkat sintesis menunjukan cara dan proses berpikir siswa. Dalam tes sintesis ini lebih tepat diterapkan tes esai dari pada tes objektif.  Tes esai memungkinkan siswa untuk menunjukan kemampuan berpikir yang kreatif, kemampuan penalaran, kemampuan menghubungkan berbagai fakta dan konsep, menggeneralisasikan untuk dapat menjawab butir-butir tes tingkat sintesis. Siswa harus memahami betul masalah yang dihadapuinya. Oleh karena itu, dalam tes tingkat sintesis dimungkinkan sekali adanya berbagai jawaban siswa yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya.
6.      Kemampuan membaca tingkat evaluasi
Kemampuan membaca pada tingkat evalusai menuntut siswa mampu memberikan penilaian yang berkaitan dengan wacana yang dibacanya, baik yang menyangkut isi atau pemasalahan yang dikemukakan maupun cara penuturan wacana itu sendiri. Penilaian terhadap isi wacana misalnya berupa penilaian terhadap gagasan, konsep, cara pemecahan masalah bahkan menemukan dan menilai bagaimana pemecahan masalah sebaiknya.
Seperti halnya tingkat sintesis, tes tingkat evaluasi menuntut kerja kognitif tingkat tinggi. Tes tingkat ini sangat baik untuk melatih dan mengukur cara dan proses berpikir siswa. Oleh karena itu, tes bentuk esai yang memungkinkan siswa berpikir dan menalar secara kreatif lebih tepat daripada tes bentuk objektif.
Tes esai tingkat evaluasi memungkinkan siswa menunjukan kemampuan berpikir dan menalar secara kreatif. Kriteria jawan “betul” ditentukan berdasrkan ketepatan isi, pengorganisasian (pengungkapan) isi, penyimpulan, kelogisan, alasan, dan ketepatan bahasa. Oleh karena itu, penilaian terhadap tes esai ini bersifat sangat kompleks, dan adakalanya sulit dihindarkan unsur subjektivitas penilai.







BAB III PENUTUP

3.1   Kesimpulan

1.      Taksonomi berasal dari bahasa Yunani tassein berarti untuk mengklasifikasi dan nomos yang berarti aturan. Taksonomi berarti klasifikasi berhirarki dari sesuatu atau prinsip yang mendasari klasifikasi. Semua hal yang bergerak, benda diam, tempat, dan kejadian sampai pada kemampuan berpikir dapat diklasifikasikan menurut beberapa skema taksonomi.
Konsep Taksonomi Bloom dikembangkan pada tahun 1956 oleh Benjamin Bloom, seorang psikolog bidang pendidikan. Konsep ini mengklasifikasikan tujuan pendidikan dalam tiga ranah, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotorik.
2.      Proses pembelajaan di kelas merupakan inti dari kegiatan pendidikan di sekolah sebelum pelaksanaan pembelajaran guru perlu merumuskan tujuan pembelajaran yang akan dicapai. Tujuan pembelajaran tersebut perlu lebih awal diinformasikan kepada siswa. Apabila dalam pengajaran tidak disebutkan tujuannya, siswa tidak tahu mana pelajaran yang penting manapun yang tidak.Taksonomi tujuan pendidikan merupaka suatu kategori tujuan pendidikan yang umumnya digunakan sebagai dasar untuk merumuskn tujuan kurikulum dan tujuan pembelajaran.
Taksonomi tujuan terdiri domain – domain kognitif, afektif dan psikomotor. Berbicara tentang taksonomi perilaku siswa siswa sebagai tujuan belajar.
3.      Bloom,Englehart,Furst,Hill,dan Krathwohl kemudian pada tahun 1956 merumuskan ada tiga golongan domain kemampuan (intelektual,”intellectual behaviors”) yaitu ranah kognitif,afektif,dan psikomotor. Taksonomi dibuat untuk mengklasifikasikan tujuan pendidikan dibagi menjadi beberapa kategori dan subkategori yang berurutan secara hirarkis (bertingkat),mulai  dari tingkah laku dalam setiap tingkat diasumsikan menyertakan juga tingkah dari tingkat yang lebih rendah.
4.      Pengajaran membaca biasanya dikaitkan dengan ketiga taksonomi Bloom, yaitu aspek kognitif, afektif, dan psikomotor. Tugas kognitif berupa memahami bacaaan secara tepat dan kritis, atau berupa kemampuan membaca. Tugas afektif berhubungan dengan sikap dan kemauan siswa untuk membaca. Sedang tugas psikomotor berupa aktifitas fisik siswa sewaktu membaca.
5.      Kemampuan membaca adalah kemampuan untuk memahami informasi yang terkandung dalam wacana. Kegiatan memahami informasi itu sendiri sebagai suatu aktivitas kognitif dapat dilakukan atau dibuat secara berjenjang, mulai dari tingkat ingatan (C1) sampai dengan tingkat evaluasi (C6). Kemampuan membaca adalah kemampuan untuk memahami informasi yang terkandung dalam wacana. Kegiatan memahami informasi itu sendiri sebagai suatu aktivitas kognitif dapat dilakukan atau dibuat secara berjenjang, mulai dari tingkat ingatan (C1) sampai dengan tingkat evaluasi (C6). Adapun tingkatan-tingkatan tes kognitif yang di maksud dalam tes kemampuan membaca, antara lain : tes kemampuan membaca tingkat ingatan, pemahaman, analisis, sintesis dan sintesis.
           







DAFTAR PUSTAKA


Buchori. 1963. “Teknik Evaluasi, diktat kuliah pada FKIP Unpad”.
Purwanto, M. Ngalim. 2009. “Prinsif-Prinsif dan Teknik Evaluasi Pengajaran”. Bandung : Rosdakarya.
Surachmad, Winarno. “Petunjuk Evaluasi Mengajar”, diktat dari IKIP Bandung.
Anderson, L.W. & Krathwohl, D.R. (2010). Kerangka landasan untuk pembelajaran,  pengajaran, dan asesmen: Revisi taksonomi pendidikan Bloom.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Selasa, 02 Juni 2015

Resume Kurikulum 2013

A.    Pengertian kurokulum 2013
Kurikulum 2013 merupakan kurikulum terbaru, hasil penyempurnaan kurikulum sebelumnya, Kurukum KTSP atau Kurikulum tingkat satuan pendidikan. Perubahan mendasar adalah dikuruanginya beberapa mata pelajaran di tingkat satuan pendidikan SD dan SMP, serta dihilangkannya sistem penjurusan pada jejang atau tingkat satuan pendidikan SMA, jadi nanti tidak akan adalah lagi kasta terbaik dan kasta nomor 2 (pembuangan) seperti yang terjadi pada saat ini, yang katanya jurusan IPA itu favorit, anaknya pintar-pintar, sedangkan jurusan IPS dan bahasa itu nomor dua, jurusan “pembuangan” anaknya pada bandel-bandel. Kurikul 2013 sendiri akan mulai diterapkan secara bertahap mulai tahun pelajaran 2013 – 2014.

B.     Prinsip-prinsip dalam Pengembangan Kurikulum 2013
 Pengembangan kurikulum adalah sebuah proses yang merencanakan, menghasilkan suatu alat yang lebih baik dengan didasarkan pada hasil penilaian terhadap kurikulum yang telah berlaku, sehingga dapat memberikan kondisi belajar mengajar yang baik. Dengan kata lain pengembangan kurikulum adalah kegiatan untuk menghasilkan kurikulum baru melalui langkah-langkah penyusunan kurikulum atas dasar hasil penilaian yang dilakukan selama periode waktu tertentu.
Pada umumnya ahli kurikulum memandang kegiatan pengembnagn kurikulum sebagai suatu proses yang kontinu, merupakan suatu siklus yang menyangkut beberapa kurikulum yaitu komponen tujuan, bahan, kegiatan dan evaluasi.
Prinsip-prinsip yang akan digunakan dalam kegiatan pengembangan kurikulum pada dasarnya merupakan kaidah-kaidah atau hukum yang akan menjiwai suatu kurikulum. Dalam pengembangan kurikulum, dapat menggunakan prinsip-prinsip yang telah berkembang dalam kehidupan sehari-hari atau justru menciptakan sendiri prinsip-prinsip baru. Oleh karena itu, dalam implementasi kurikulum di suatu lembaga pendidikan sangat mungkin terjadi penggunaan prinsip-prinsip yang berbeda dengan kurikulum yang digunakan di lembaga pendidikan lainnya, sehingga akan ditemukan banyak sekali prinsip-prinsip yang digunakan dalam suatu pengembangan kurikulum.
Dalam hal ini, Nana Syaodih Sukmadinata (1997) mengetengahkan prinsip-prinsip pengembangan kurikulum yang dibagi ke dalam dua kelompok : (1) prinsip – prinsip umum : relevansi, fleksibilitas, kontinuitas, praktis, dan efektivitas; (2) prinsip-prinsip khusus : prinsip berkenaan dengan tujuan pendidikan, prinsip berkenaan dengan pemilihan isi pendidikan, prinsip berkenaan dengan pemilihan proses belajar mengajar, prinsip berkenaan dengan pemilihan media dan alat pelajaran, dan prinsip berkenaan dengan pemilihan kegiatan penilaian.
Sedangkan Asep Herry Hernawan dkk (2002) mengemukakan lima prinsip dalam pengembangan kurikulum, yaitu :
1.      Prinsip relevansi; secara internal bahwa kurikulum memiliki relevansi di antara komponen-komponen kurikulum (tujuan, bahan, strategi, organisasi dan evaluasi). Sedangkan secara eksternal bahwa komponen-komponen tersebutmemiliki relevansi dengan tuntutan ilmu pengetahuan dan teknologi (relevansi epistomologis), tuntutan dan potensi peserta didik (relevansi psikologis) serta tuntutan dan kebutuhan perkembangan masyarakat (relevansi sosilogis).
2.      Prinsip fleksibilitas; dalam pengembangan kurikulum mengusahakan agar yang dihasilkan memiliki sifat luwes, lentur dan fleksibel dalam pelaksanaannya, memungkinkan terjadinya penyesuaian-penyesuaian berdasarkan situasi dan kondisi tempat dan waktu yang selalu berkembang, serta kemampuan dan latar bekang peserta didik.
3.      Prinsip kontinuitas; yakni adanya kesinambungandalam kurikulum, baik secara vertikal, maupun secara horizontal. Pengalaman-pengalaman belajar yang disediakan kurikulum harus memperhatikan kesinambungan, baik yang di dalam tingkat kelas, antar jenjang pendidikan, maupun antara jenjang pendidikan dengan jenis pekerjaan.
4.      Prinsip efisiensi; yakni mengusahakan agar dalam pengembangan kurikulum dapat mendayagunakan waktu, biaya, dan sumber-sumber lain yang ada secara optimal, cermat dan tepat sehingga hasilnya memadai.
5.      Prinsip efektivitas; yakni mengusahakan agar kegiatan pengembangan kurikulum mencapai tujuan tanpa kegiatan yang mubazir, baik secara kualitas maupun kuantitas.

Terkait dengan pengembangan kurikulum 2013, terdapat sejumlah prinsip-prinsip yang harus dipenuhi, yaitu:
1.      Kurikulum satuan pendidikan atau jenjang pendidikan bukan merupakan daftar mata pelajaran. Atas dasar prinsip tersebut maka kurikulum sebagai rencana adalah rancangan untuk konten pendidikan yang harus dimiliki oleh seluruh peserta didik setelah menyelesaikan pendidikannya di satu satuan atau jenjang pendidikan tertentu.  Kurikulum sebagai proses adalah totalitas pengalaman belajar peserta didik di satu satuan atau jenjang pendidikan untuk menguasai konten pendidikan yang dirancang dalam rencana. Hasil belajar adalah perilaku peserta didik secara keseluruhan dalam menerapkan perolehannya di masyarakat.
2.      Standar kompetensi lulusan ditetapkan untuk satu satuan pendidikan, jenjang pendidikan, dan program pendidikan. Sesuai dengan kebijakan Pemerintah mengenai Wajib Belajar 12 Tahun maka Standar Kompetensi Lulusan yang menjadi dasar pengembangan kurikulum adalah kemampuan yang harus dimiliki peserta didik setelah mengikuti proses pendidikan selama 12 tahun. Selain itu sesuai dengan fungsi dan tujuan jenjang pendidikan dasar dan pendidikan menengah serta fungsi dan tujuan dari masing-masing satuan pendidikan pada setiap jenjang pendidikan maka pengembangan kurikulum didasarkan pula atas Standar Kompetensi Lulusan pendidikan dasar dan pendidikan menengah serta Standar Kompetensi satuan pendidikan.
3.      Model kurikulum berbasis kompetensi ditandai oleh pengembangan kompetensi berupa sikap, pengetahuan, keterampilan berpikir, dan keterampilan psikomotorik yang dikemas dalam berbagai mata pelajaran. Kompetensi yang termasuk pengetahuan dikemas secara khusus dalam satu mata pelajaran. Kompetensi yang termasuk sikap dan ketrampilan dikemas dalam setiap mata pelajaran dan bersifat lintas mata pelajaran dan diorganisasikan dengan memperhatikan prinsip penguatan (organisasi horizontal) dan keberlanjutan (organisasi vertikal) sehingga memenuhi prinsip akumulasi dalam pembelajaran.
4.      Kurikulum didasarkan pada prinsip bahwa setiap sikap, keterampilan dan pengetahuan yang dirumuskan dalam kurikulum berbentuk Kemampuan Dasar dapat dipelajari dan dikuasai setiap peserta didik (mastery learning) sesuai dengan kaedah kurikulum berbasis kompetensi.
5.      Kurikulum dikembangkan dengan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan perbedaan dalam kemampuan dan minat. Atas dasar prinsip perbedaan kemampuan individual peserta didik,  kurikulum memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk memiliki tingkat penguasaan di atas standar yang telah ditentukan (dalam sikap, keterampilan dan pengetahuan). Oleh karena itu  beragam program  dan pengalaman belajar disediakan  sesuai dengan minat dan kemampuan awal peserta didik.
6.      Kurikulum berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik  serta  lingkungannya.  Kurikulum dikembangkan berdasarkan prinsip bahwa peserta didik berada pada posisi sentral dan aktif dalam belajar.
7.      Kurikulum harus tanggap  terhadap perkembangan ilmu pengetahuan,   budaya, teknologi, dan seni. Kurikulum dikembangkan atas dasar kesadaran bahwa ilmu pengetahuan,  budaya,  teknologi,  dan seni berkembang secara dinamis. Oleh karena  itu    konten  kurikulum  harus selalu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan, budaya, teknologi,  dan seni; membangun rasa ingin tahu dan kemampuan bagi peserta didik untuk mengikuti dan memanfaatkan secara tepat hasil-hasil ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.
8.      Kurikulum harus relevan dengan  kebutuhan kehidupan. Pendidikan tidak boleh memisahkan peserta didik dari lingkungannya dan pengembangan kurikulum didasarkan kepada prinsip  relevansi pendidikan dengan kebutuhan  dan lingkungan hidup. Artinya, kurikulum memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mempelajari permasalahan  di lingkungan masyarakatnya sebagai konten kurikulum dan kesempatan untuk mengaplikasikan yang dipelajari di kelas dalam kehidupan di masyarakat.
9.      Kurikulum diarahkan kepada proses pengembangan, pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat.  Pemberdayaan peserta didik untuk belajar sepanjang hayat dirumuskan dalam sikap, keterampilan,  dan pengetahuan dasar yang dapat digunakan untuk mengembangkan budaya belajar.
10.  Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan kepentingan nasional dan kepentingan daerah untuk membangun kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kepentingan nasional  dikembangkan melalui penentuan struktur kurikulum, Standar Kemampuan/SK dan Kemampuan Dasar/KD  serta  silabus. Kepentingan daerah  dikembangkan  untuk membangun manusia yang tidak tercabut dari akar budayanya dan mampu berkontribusi langsung kepada masyarakat di sekitarnya. Kedua kepentingan ini  saling mengisi dan memberdayakan  keragaman dan kebersatuan yang dinyatakan dalam Bhinneka Tunggal Ika untuk membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia.
11.  Penilaian hasil belajar ditujukan untuk mengetahui dan memperbaiki pencapaian kompetensi. Instrumen penilaian hasil belajar adalah alat untuk mengetahui kekurangan yang dimiliki setiap peserta didik atau sekelompok peserta didik. Kekurangan tersebut harus segera diikuti dengan proses  perbaikan terhadap kekurangan dalam aspek hasil belajar yang dimiliki seorang atau sekelompok peserta didik.

C.     Komponen-komponenu Kurikulum 2013
Suatu kurikulum harus memiliki kesesuaian atau relevansi. Kesesuaian ini meliputi dua hal. Pertama kesesuaian antara kurikulum dengan tuntutan, kebutuhan, kondisi, dan perkembangan masyarakat. Kedua  kesesuaian antar komponen-komponen.
Adapun komponen-komponen pengembangan kurikulum, yaitu:
1.      Komponen tujuan
Komponen tujuan merupakan komponen pembentuk kurikulum yang berkaitan dengan hal-hal yang ingin dicapai atau hasil yang diharapkan dari kurikulum yang akan dijalankan. Dengan membuat tujuan yang pasti, hal tersebut akan membantu dalam proses pembuatan kurikulum yang sesuai dan juga membantu dalam pelaksanaan kurikulumnya agar tujuan yang diharapkan dapat tercapai.
  Tujuan pendidikan diklasifikasikan menjadi empat, yaitu:
a.         Tujuan Pendidikan Nasional
Dalam perspektif pendidikan nasional, tujuan pendidikan nasional dapat dilihat secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahwa “ Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
b.      Tujuan Institusional
Tujuan institusional adalah tujuan yang harus dicapai oleh setiap lembaga pendidikan. Dalam Permendiknas No. 22 Tahun 2007 dikemukakan bahwa tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan dasar dan menengah dirumuskan sebagai berikut
1)      Tujuan pendidikan dasar adalah meletakkan dasar kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.
2)      Tujuan pendidikan menengah adalah meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.
3)      Tujuan pendidikan menengah kejuruan adalah meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut sesuai dengan kejuruannya.

c.       Tujuan Kurikuler
Tujuan kurikuler adalah tujuan yang harus dicapai oleh setiap bidang studi atau mata pelajaran.

d.      Tujuan Instruksional atau Tujuan Pembelajaran
Tujuan pembelajaran yang merupakan bagian dari tujuan kurikuler, dapat didefinisikan sebagai kemampuan yang harus dimiliki oleh anak didik setelah mereka mempelajari bahasan tertentu dalam bidang studi tertentu dalam satu kali pertemuan.

2.      Komponen Isi
Isi program kurikulum adalah segala sesuatu yang diberikan kepada anak didik dalam kegiatan belajar mengajar dalam rangka mencapai tujuan. Isi kurikulum meliputi jenis-jenis bidang studi yang diajarkan dan isi program dari masing-masing bidang studi tersebut.
3.      Komponen Metode
Komponen metode atau strategi merupakan komponen yang cukup penting karena metode dan strategi yang digunakan dalam kurikulum tersebut menentukan apakah materi yang diberikan atau tujuan yang diharapkan dapat tercapai atau tidak. Dalam prakteknya, seorang guru seyogyanya dapat mengembangkan strategi pembelajaran secara variatif, menggunakan berbagai strategi yang memungkinkan siswa untuk dapat melaksanakan proses belajarnya secara aktif, kreatif dan menyenangkan, dengan efektivitas yang tinggi. Pemilihan atau pembuatan metode atau strategi dalam menjalankan kurikulum yang telah dibuat haruslah sesuai dengan materi yang akan diberikan dan tujuan yang ingin dicapai.
4.      Komponen Evaluasi
Dalam pengertian terbatas, evaluasi kurikulum dimaksudkan untuk memeriksa tingkat ketercapaian tujuan-tujuan pendidikan yang ingin diwujudkan melalui kurikulum yang bersangkutan. Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas, evaluasi kurikulum dimaksudkan untuk memeriksa kinerja kurikulum secara keseluruhan ditinjau dari berbagai kriteria.
Komponen evaluasi merupakan bagian dari pembentuk kurikulum yang berperan sebagai cara untuk mengukur atau melihat apakah tujuan yang telah dibuat itu tercapai atau tidak. Selain itu, dengan melakukan evaluasi, kita dapat mengetahui apabila ada kesalahan pada materi yang diberikan atau metode yang digunakan dalam menjalankan kurikulum yang telah dibuat dengan melihat hasil dari evaluasi tersebut. Dengan begitu, kita juga dapat segera memperbaiki kesalahan yang ada atau mempertahankan bahkan meningkatkan hal-hal yang sudah baik atau berhasil.