Rabu, 13 Mei 2015

Resensi Buku Daniel Goleman Emotional Intelligence

RESENSI BUKU

Judul buku                  : Emotional Intelligence
Penulis                         : Daniel Goleman
Judul terjemahan         : Kecerdasan Emosional
Alih bahasa                 : T. Hermaya
Tahun terbit                 : 1997
Tebal                           : 497 halaman
Penerbit                       : PT Gramedia Pustaka Utama

Penulisan buku dilatar belakangi terkuaknya cara kerja otak diantaranya bagaimana sel-sel bekerja sementara kita berpikir dan merasa, berimajinasi dan bermimpi. Pemahaman mengenai cara kerja emosi dan kelemahan emosi yang tidak pernah terjadi sebelumnya ini membawa kita ke suatu fokus mengenai pola penanggulangan baru bagi krisis emosi masyarakat. Emosi merupakan wilayah yang pada umumnya tak terjelajah oleh psikologi ilmiah.
            Pokok bahasan yang termuat dalam buku ini yaitu bagian satu berisi otak emosional meliputi apa kegunaan emosi dan anatomi pembajakan emosi. Bagian dua berisi ciri-ciri kecerdasan emosional meliputi kapan yang pintar itu bodoh, kenali diri anda, budak nafsu, kecakapan utama, akar empati, dan seni sosial. Bagian tiga berisi penerapan kecerdasan emosional meliputi musuh-musuh keintiman, manajemen dengan berpatokan pada perasaan, pikiran dan pengobatan. Bagian empat berisi kesempatan emas meliputi wadah penggodokan keluarga, trauma dan pembajakan ulang emosi, dan tempramen buakanlah suratan takdir. Bagian lima berisi kecakapan emosional meliputi keruguian buta emosi dan pendidikan emosi.
            Hubungan bagian satu hingga bagian lima yaitu dengan mengenali otak emosional akan memahami ciri-ciri kecerdasan emosional kemudian terjadilah penerapan kecerdasan emosional dengan memanfaatkan kesempatan emas sehingga melahirkan kecakapan emosional.
            Cara kerja otak emosional pertama-tama sinyal visual dikirim dari retina ke talamus yang bertugas menerjemahkan sinyal itu ke dalam bahasa otak. Sebagian besar otak itu kemudian ke korteks visual yang menganalisis dan menentukan makana dan respons yang cocok; jika respons bersifat emosional, suatu sinyal dikirim ke amigdala untuk mengaktifkan pusat emosi. Tetapi, sebagian kecil sinyal asli langsung  menuju amigdala dari talamus dengan trasnsmisi yang  lebih cepat, sehingga memungkinkan adanya respons yang lebih cepat meski kurang akurat. Jadi, amigdala dapat memicu suatu respons emosional sebelum pusat-pusat korteks memahami betul apa yang terjadi.
            Menurut Mayer, orang cenderung menganut gaya-gaya khas dalam menangani dan mengatasi emosi mereka:
1.      Sadar diri. Peka akan suasana hati mereka ketika mengalaminya. Dapat dimengerti bila orang-orang ini memiliki kepintaran tersendiri dalam kehidupan emosional mereka. Kejernihan pikiran tentang emosi boleh jadi melandasi ciri-ciri kepribadian antara lain: mereka mandiri dan yakin akan batas-batas yang mereka bangun, kesehatan jiwanya bagus, dan cenderung berpendapat positif akan kehidupan. Bila suasana hatinya sedang jelek, mereka tidak risau dan tidak larut ke dalamnya, dan mereka mampu melepaskan diri dari suasana itu dengan lebih cepat. Pendek kata, ketajaman pola pikir mereka menjadi penolong untuk mengatur emosi.
2.      Tenggelam dalam perasaan. Mereka adalah orang-orang yang sering kali merasa dikuasai oleh emosi dan tak berdaya untuk melepaskan diri, seolah-olah suasana hati mereka telah mengambil alih kekuasaan. Mereka mudah marah dan amat tidak peka akan perasaannya, sehingga larut dalam perasaan-perasaan itu dan bukannya mencari prespektif baru. Akibatnya, mereka kurang berupaya melepaskan diri dari suasana hati yang jelek, merasa tidak mempunyai kendali atas kehidupan emosional mereka. Seringkali mereka merasa kalah dan secara emosional lepas kendali.
3.      Pasrah. Meskipun seringkali orang-orang ini peka akan apa yang mereka rasakan, mereka juga juga cenderung menerima begitu saja suasana hati mereka, sehingga tidak berusaha untuk merubahnya. Kelihatannya ada dua cabang jenis yang pasrah ini: mereka yang terbiasa dalam suasana hati yang menyenangkan, dan dengan demikian motivasi untuk mengubahnya rendah; dan orang-orang yang kendati peka perasaannya, rawan terhadap suasana hati yang jelek tetapi menerimanya dengan dengan sikap tidak hirau, tak melakukan apapun untuk mengubahnya meskipun tertekan. Pola yang ditemukan misalnya pada orang yang menderita depresi dan yang tenggelam dalam keputusasaan.

Reaksi yang terjadi pada nomor dua dan tiga dikenal oleh para psikiater sebagai gejala utama gangguan stres pasca trauma, atau PTSD (post traumatic stress disorder).
Setiap peristiwa yang menimbulkan trauma dapat menanamkan ingatan-ingatan pemicu di amigdala. Jejak rasa takut dalam ingatan dan sikap terlalu waspada yang ditimbulkannya dapat berlangsung seumur hidup. Ketidak berdayaan sebagai pemicu PTSD telah dibuktikan dalam banyak penelitian. Perubahan-perubahan saraf pada PTSD agaknya juga membuat seorang lebih mudah mengalami trauma lebih lanjut. Semua perubahan saraf ini memberikan keuntungan-keuntungan jangka pendek untuk mengatasi keadaan darurat yang menegangkan dan hebat yang memicunya. Dibawah tekanan, sangatlah menguntungkan untuk menjadi sangat waspada, mudah bangkit emosinya, siap menghadapi segala sesuatu, tak mudah merasa sakit, tubuh dipersiapkan untuk menanggung tuntukan fisik yang berkelanjutan, bila ditinjau dari sisi lain merupakan peristiwa yang mengganggu.
Keuntungan jangka pendek ini menjadi masalah permanen bila otak berubah sedemikian rupa sehingga perubahan-perubahan itu menjadi sikap dasar. Ketika amigdala dan wilayah otak yang berkaitan dengannya disetel pada titik baru selama terjadinya traumadahsyat, perubahan dalam gugahan kesiapsiagaan lebih tinggi untuk memicu pembajakan saraf mengandung arti bahwa semua kehidupan berada pada ambang keadaan darurat, dan bahkan saat yang tidak berbahaya dapat menimbulkan ledakan rasa takut.
Salah satu cara yang tampaknya bisa membuat penyembuhan emosional ini berlangsung secara sepontan—sekurang-kurangnya pada anak-anak—adalah melalui permainan-permainan. Permainan ini, yang dimainkan berulang kali, membuat anak –anak menghayati kembali sebuah trauma dengan perasaan aman, trauma penyembuhan: di satu pihak, ingatan tadi diulangi dalam konteks kecemasan tingkat rendah, sehingga menumpulkannya dan memungkinkan suatu rangkaian tanggapan non traumatik untuk disosialisasikan dengannya. Jalur penyembuhan lain adalah bahwa permainan diakhiri dengan kemenangan sehingga mempertebal rasa penguasaan mereka atas traumatik yang membuat mereka tak berdaya itu.
Sementara orang dewasa yang mengalmi trauma mengerikan dapat mengalami mati rasa
kejiwaan, yaitu menghilangnya ingatan atau perasaan mengenai malapetaka tersebut.
Langkah-langkah menuju pemulihan trauma menurut Herman terbagi menjadi tiga tahap: mencapai perasaan aman, mengingat detail-detail trauma dan berduka atas kehilangan yang ditimbulkannya, yang terakhir menata ulang kehidupan agar normal kembali.
Unsur-unsur yang membangun kecerdasan emosional yaitu:
1.      Keterampilan Emosional
a.       Mengidentifikasi dan memberi nama perasaan-perasaan
b.      Mengungkapkan perasaan
c.        Menilai intensitas perasaan
d.      Mengelola perasaan
e.       Menunda pemuasan
f.       Mengendalikan dorongan hati
g.      Mengurang stress
h.      Mengetahui perbedaan antara perasaan dan tindakan
2.      Keterampilan Kognitif
a.       Bicara sendiri—melakukan “dialog batin” sebagai cara untuk menghadapi suatu masalah atau menentang atau memperkuat perilaku diri sendiri.
b.      Membaca dan menafsirkan isyarat-isyarat sosial—misalnya, mengenali pengaruh sosial terhadap perilaku dan melihat diri sendiri dalam presperktif masyarakat yang lebih luas.
c.       Menggunakan langkah-langkah bagi penyelesaian masalah dan pengambilan keputusan—misalnya mengendalikan dorongan hati, menentukan sasaran, mengidentifikasi tindakan-tindakan alternatif, memperhitungkan akibat-akibat yang mungkin.
d.      Memahami sudut pandang orang lain.
e.       Memahami sopan santun (perilaku mana yang dapat diterima dan yang tidak).
f.       Sikap yang positif terhadap kehidupan.
g.      Kesadaran diri—misalnya, mengembangkan harapan-harapan yang realistis tentang diri sendiri
3.      Keterampilan Perilaku
a.       Nonverbal—berkomunikasi melalui hubungan mata, ekspresi wajah, nada suara, gerak-gerik, dan seterusnya.
b.      Verbal—mengajukan permintaan-permintaan dengan jelas, menanggapi kritik secara efektif, menolak pengaruh negatif, mendengarkan orang lain, menolong sesama, ikut serta dalam kelompok-kelompok yang positif

Tujuan dari memahami kecerdasan emosional yaitu:
1.      Kesadaran diri emosional
a.       Perbaikan dalam mengenali dan merasakan emosinya sendiri
b.      Lebih mampu memahami penyebab perasaan yang timbul
c.       Mengenali perbedaan perasaan dengan tindakan
2.      Mengelola Emosi
a.       Toleransi yang lebih tinggi terhadap frustasi dan pengelolaan amarah
b.      Berkurangnya ejekan verbal, perkelahian, dan gangguan di ruang kelas
c.       Lebih mampu mengunggkapkan amarah dengan tepat, tanpa berkelahi
d.      Berkurangnya hukuman
e.       Berkurangnya perilaku agresif atau merusak diri sendiri
f.       Perasaan yang lebih positif tentang diri sendiri dan orang lain
g.      Lebih baik dalam menangani ketegangan jiwa
h.      Berkurangnya kesepian dan kecemasan dalam pergaulan
3.      Manfaat Emosi Secara Produktif
a.       Lebih bertanggung jawab
b.      Lebih mampu memusatkan perhatian pada tugas yang dikerjakan dan menaruh perhatian
c.       Kurang implusif; lebih menguasai diri
d.      Nilai pada tes-tes prestasi meningkatkan
4.      Empati: membaca emosi
a.       Lebih mampu menerima sudut pandang orang lain
b.      Memperbaiki empati dan kepekaan terhadap perasaan orang lain
c.       Lebih baik dalam mendengrkan orang lain
5.      Membina Hubungan
a.       Meningkatkan kemampuan menganalisis dan memahami hubungan
b.      Lebih baik dalam menyelesaikan pertikaian dan merundingkan persengketaan
c.       Lebih baik dalam menyelesaikan persoalan yang timbul dalam hubungan.
d.      Lebih tegas dan terampil dalam komunikasi.
e.       Lebih populer dan mudah bergaul, bersahabat dan terlibat dengan teman sebaya.
f.       Lebih dibutuhkan oleh teman sebaya.
g.      Lebih meneruh perhatian dan bertenggang rasa.
h.      Lebih memikirkan kepentingan sosial dan selaras dalam kelompok.
i.        Lebih suka berbagi rasa, bekerja sama, dan suka menolong.
j.        Lebih demokratis dalam bergaul dengan orang lain

Kelebihan dalam buku karya Daniel Goleman:
1.      Menyajikan contoh permasalahan sehingga mudah dipahami.
2.      Menjelaskan penemuan yang dimilikinya secara ilmiah.
3.      Mampu membuat pembaca mengembangkan pemikirannya.
4.      Menyajikan penyelesaian pada setiap permasalahan.

Kekurangan dalam buku karya Daniel Goleman:
1.      Ada permasalahan yang penyelesaiannya belum tuntas
2.      Pada sebagian bab terlalu banyak contoh cerita tetapi solusinya kurang.
3.      Terlalu bertele-tele dalam memaparkan teori.
4.      Dalam setiap penyelesaian masalah tidak pernah dikaitkan dengan macam kecerdasan lain misalnya kecerdasan spiritual. Karena pemikiran dapat mengimbangi emosi dan keduanya dapat diolah dengan kecerdasan spiritual yang baik.
5.      Belum dilengkapi dengan cara mengoptimalkan kecerdasan emosional.

Buku ini baik dibaca untuk kalangan pendidik maupun umum, terutama bagi mahasiswa yang seharusnya memahami ilmu-ilmu perilaku. Sehingga dapat mengimbangi potensi yang telah dimiliki dengan adanya pengendalian diri. Agar hasil kecerdasan lebih baik perlu diimbangi dengan membaca buku kecerdasan lain.

Minggu, 10 Mei 2015

Teori Belajar Konstruktivisme

Konsep Konstruktivisme

Konstruktivisme (contructivism) merupakan landasan berpikir (filosofi) pendekatan kontekstual, yaitu pengetahuan yang dibangun sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit) dan tidak dengan tiba-tiba. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep atau kaidah yang siap untuk diambil dan diangkat. Tetapi manusia harus mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata. Untuk itu siswa perlu dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide, yaitu siswa harus mengkonstruksikan sendiri pengetahuan dibenak mereka. Teori ini berkembang dari teori kerja Piaget, Vygotsky, teori pemrosesan informasi, dan teori psikologi kognitif lainnya, seperti teori Bruner (Slavin dalam Nur dan Trianto, 2007 : 13)

Esensi dari teori konstruktivisme bahwa siswa harus menemukan dan mentransformasikan suatu informasi kompleks ke situasi lain, dan apabila dikehendaki informasi itu menjadi milik mereka sendiri. Dengan dasar ini pembelajaran harus dikemas menjadi proses mengkonstruksi bukan menerima pengetahuan. Landasan berpikir konstruktivisme agak berbeda dengan pandangan kaum objektivitas yang lebih enekankan pada hasil pembelajaran. Dalam pandangan konstruktivisme, strategi memperoleh lebih diutamakan dibandingkan seberapa banyak siswa memperoleh dan mengingat pengetahuan. Untuk itu, tugas guru adalah memfasilitasi proses tersebut dengan :
  1. Menjadikan pengetahuan lebih bermakna dan relevan bagi siswa;
  2. Memberi kesempatan siswa menemukan dan menerapkan idenya sendiri;
  3. Menyadarkan siswa agar menerapkan strategi mereka dalam belajar.
Konstruktivisme dapat diartikan sebagai kedudukan psikologi yang berpegang teguh kepada kebenaran yang kebanyakan terjadi pada makna yang konkrit. Ini bermakna bahwa ilmu pengetahuan dibina oleh individu-individu melalui pengamatan kepada fenomena alam.

Konstruktivisme memberikan penekanan kepada peserta didik untuk membina pengetahuan melalui proses psikologi yang aktif. Ilmu pengetahuan dibina ke dalam struktur kognitif anak dari hasil pengalaman mereka dengan alam. Struktur pengetahuan ini kadang-kadang menjadi penghalang yang kuat kepada pembelajaran dan perubahan konseptual peserta didik. Dari perspektif konstruktivis makna pembelajaran adalah dibina di dalam diri peserta didik hasil pengalaman pancainderanya dengan alam. Peserta didik akan bertindak kepada pengalamanpengalaman pancaindera dengan cara membina di dalam pikiran mereka dalam bentuk skema atau struktur kognitif yang akan membentuk makna dan kepahaman mereka. Individu-individu akan memberi makna kepada situasi atau fenomena dan mengakibatkan pembentukan proses yang mengambil tempat dalam pikiran individu tersebut.
Konstruktivisme merupakan respon terhadap berkembangnya harapanharapan baru yang berhubungan dengan proses pembelajaran yang menginginkan peran aktif siswa dalam merekayasa dan memprakarsai pembelajaran secara mandiri.

Arti Teori Konstruktivisme
            Teori Konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan menciptakan sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Dan teori konstruktivisme adalah teori yang memahami belajar sebagai kegiatan manusia yang bersifat membangun dan menciptakan suatu pengetahuan dengan memberi makna pengetahuannya yang sesuai dengan pengalaman seseorang yang mempunyai pengetahuan lebih dinamis.
Teori konstruktivisme mempunyai beberapa konsep umum seperti:
  1. Pelajar aktif membina pengetahuan berasaskan pengalaman yang sudah ada.
  2. Dalam konteks pembelajaran, pelajar seharusnya membina sendiri pengetahuan mereka.
  3. Pentingnya membina pengetahuan secara aktif oleh pelajar sendiri melalui proses saling mempengaruhi antara pembelajaran terdahulu dengan pembelajaran terbaru.
  4. Unsur terpenting dalam teori ini ialah seseorang membina pengetahuan dirinya secara aktif dengan cara membandingkan informasi baru dengan pemahamannya yang sudah ada.
  5. Ketidakseimbangan merupakan faktor motivasi pembelajaran yang utama. Faktor ini berlaku apabila seorang pelajar menyadari gagasan-gagasannya tidak konsisten atau sesuai dengan pengetahuan ilmiah.
  6. Bahan pengajaran yang disediakan perlu mempunyai perkaitan dengan pengalaman pelajar untuk menarik minat pelajar.

Tokoh yang berperan dalam Teori Konstruktivisme
 Ada 2 tokoh yang berperan dalam teori ini yaitu jean piaget dan vygotsky
a.       Jean piaget
Teori jean piaget sangatlah terkenal dan merupakan bagian dari teori kognitif yaitu teori perkembangan mental.
Menurut piaget, Teori belajar berkenaan dengan kesiapan anak untuk belajar yang dikemas dalam tahap perkembangan intelektual dari lahir hingga dewasa. Setiap tahap perkembangan intelektual yang dimaksud dilengkapi dengan ciri-ciri tertentu dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan.
            Pengetahuan tersebut dibangun dalam pikiran siswa melalui asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah penerapan informasi baru dalam pikiran. Sedangkan akomodasi adalah menyusun kembali struktur pikiran karena adanya informasi baru. Pengetahuan tidak diperoleh pasif oleh seseorang, melainkan melalui tindakan. Bahkanperkembangan kognitif siswa tergantung pada seberapa jauh mereka aktif  memanipulasi dan berinteraksi dengan lingkungannya.
            Piaget  juga dikenal sebagai konstruktivis pertama, ia menegaskan bahwa penekanan teori konstruktivisme pada proses untuk menemukan teori atau pengetahuan yang dibangun dari realitas lapanagan.
            Ada 3 hukum  atau dalil pokok piaget dalam kaitannya dengan tahap perkembangan intelektual atau disebut tahap perkembangan mental, yaitu :
1.      Perkembangan intelektual terjadi melalui tahap-tahap beruntun yang selalu terjadi dengan urutan yang sama. Maksudnya, setiap manusia akan mengalami urutan-urutan tersebut dan dengan urutan yang sama.
2.      Tahap-tahap tersebut didefinisikan sebagai suatu cluster dari operasi mental (pengurutan, pengekalan, pengelompokan, pembuatan hipotesis dan penarikan kesimpulan) yang menunjukkan adanya tingkah laku intelektual dan
3.      Gerak melalui tahap-tahap tersebut dilengkapi oleh keseimbangan (equilibration), proses pengembangan yang menguraikan tentang interaksi antara pengalaman (asimilasi) dan struktur kognitif yang timbul (akomodasi).

b.      Vygotsky
Menurut vigotsky, bahwa belajar bagi anak dilakukan dalam interaksi dengan lingkungan sosial maupun fisik. Penemuan atau discovery dalam belajar lebih mudah diperoleh dalam konteks sosial budaya. Jadi inti dari konstruktivisme menurut vigotsky adalah interaksi antara aspek internal dan eksternal yang penekanannya pada lingkungan sosial dalam belajar.
Adapun implikasi teori konstruktivisme dalam pendidikan anak adalah :
1.      Tujuan pendidikan menurut teori belajar konstruktivisme adalah menghasilkan individu atau anak yang memiliki kemampuan berfikir untuk menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi.
2.      Kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang memungkinkan pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta didik. Selain itu, latihan memcahkan masalah seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari dan
3.      Peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai bagi dirinya. Guru hanyalah berfungsi sebagai mediator, fasilitor, dan teman yang membuat situasi yang kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri peserta didik.        

Pembelajaran dalam teori konstruktivisme
            Menurut teori konstruktivisme bahwa pengetahuan tidak bisa dipindahkan dari pikiran guru ke pikiran siswa. Maksutnya, dalam teori konstruktivisme siswa harus aktif secara mental untuk membangun struktur pengetahuannya berdasarakan kematangan kognitif yang dimilikinya, jadi siswa tidak diharapakan sebagai botol-botol kecil yang siap diisi dengan ilmu-ilmu pengetahuan sesuai dengan kehendaka guru sendiri.
Ada 3 penekanan dalam teori belajar konstruktivisme, yaitu :
1.      peran aktif siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan secara bermakna.
2.      pentingnya membuat kaitan antara gagasan dalam pengkonstruksian secara bermakna.
3.      mengaitkan antara gagasan dengan informasi baru yang diterima.

Dan didalam pembelajaran konstruktivisme juga terdapat dua prinsip utama, yaitu:
1.      Pengetahuan tidak dapat diperoleh secara pasif, namun secara aktif oleh struktur kognitif siswa.
2.      Fungsi kognitif bersifat adaptif dan membantu pengorganisasian melalui pengalaman nyata yang dimiliki anak.

Pembelajaran yang mengacu pada teori konstruktivisme lebih menfokuskan pada kesuksesan siswa dalam mengorganisasikan pengalaman mereka. Dan siswa lebih diutamakan untuk membangun atau mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka melalui asimilasi dan akomodasi.
Terdapat lima unsur penting dalam pembelajaran konstruktivisme, yaitu :
1.      Memperhatikan dan memanfaatkan pengetahuan awal siswa
Kegiatan pembelajaran ditunjukan untuk menbantu siswa dalam mengkonstruksi atau membangun suatu pengetahuan. Siswa didorong untuk mengkonstruksi pengetahuan baru dengan bekal atau pengetahuan awal yang dimilikinya dengan memanfaatkannya. Oleh karena itu, pembelajaran harus memperhatikan pengetahuan awal siswa dan memanfaatkan teknik-teknik untuk mendorong agar terjadi perubahan konsepsi padadiri siswa.
2.      Pengalaman belajar yang autentik dan bermakn
 Segala kegitan pembelajran dirancang sedemikian rupa sehingga bermakna bagi siswa. Oleh karena itu minat, sikap, dan kebutuhan belajar    siswa bener-bener dijadikan bahan pertimbangan dalam merancang dan melakukan pembelajaran. Hal ini dapat terlihat dari usaha-usaha untuk mengaitkan pelajaran dengan kehidupan sehari-hari, penggunaan sumber    daya dari kehidupan sehari-hari, dan juga penerapan konsep.
3.      Adanya lingkungan sosial yang kondusif
Siswa diberi kesempatan untuk bisa berinteraksi secara produktif dengan sesama siswa maupun dengan guru. Selain itu juga ada kesempatan bagi siswa untuk bekerja dalam berbagai konteks sosial.
4.      Adanya dorongan agar siswa bisa mandiri
Siswa didorong untuk bisa bertanggung jawab terhadap proses belajarnya. Oleh karena itu siswa dilatih dan diberi kesempatan untuk melakukan   refleksi dan mengatur kegiatan belajarnya.
5.      Ada usaha untuk mengenalkan siswa pada dunia ilmiah
Sains bukan hanya produk (fakta, konsep, prinsip, teori), namun juga mencakup proses dan sikap. Oleh karena itu pembelajaran sains juga harus bisa melatih dan memperkenalkan siswa tentang “kehidupan” ilmuwan.
Pembelajaran kontruktuvisme merupakan pembelajaran yang cukup baik dimana siswa dalam pembelajaran terjun langsung tidak hanya menerima pelajaran yang pasti seperti pembelajaran behavioristik. Misalnya saja pada pelajaran pkn, tentang tolong menolong dan siswa di tugaskan untuk terjun langsung dan terlibat mengamati suatu lingkungan bagaimana sikap tolong menolong terbangun. Dan setelah itu guru memberi pengarahan yang lebih lanjut. Siswa lebih mamahami makna ketimbang konsep.

Peran guru dalam teori konstruktivisme
           Menurut carnegie tentang pendidikan dan ekonomi terdapat sejumlah kemampuan yang harus dimiliki oleh guru adalah :
Memiliki pemahaman tentang kerja baik fisik maupun sosial, memiliki kemampuan mngumpulkan dan menganalisis data, memiliki kemampuan membantu pemahaman siswa, memiliki kemampuan mempercepat kreativitas siswa, dan memiliki kemampuan kerja sama dengan orang lain.
          Guru tidak diharuskan memiliki semua pengetahuan, tetapi hendaknya memiliki pengetahuan yang cukup sesuai dengan yang mereka perlukan, dimana memperolehnya, dan bagaimana memaknainya. Disamping penguasaan materi, guru juga dituntut memiliki keragaman model atau strategi pembelajaran, karena tidak ada satu model pembelajaran yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan belajar dari topik-topik yang beragam.
          Sebagai expert learnes, guru diharapkan memiliki pemahaman mendalam tentang pembelajaran, menyediakan waktu yang cukup untuk siswa, menyediakan msalah dan alternatif solusi, memonitor proses belajar dan pembelajaran, merubah strategi ketika siswa sulit mencapai tujuan, berusaha mencapai tujuan kognitif, afektif, dan psikomor siswa.
          Sebagai manager, guru berkewajiban memonitor hasil belajar siswa dan masalah-masalah yang dihadapi mereka, memonitor disiplin kelas dan interpesonal, dan memonitor ketepatan waktu dalam menyelesaikan tugas.
          Sebagai mediator, membantu para siswa memformulasikan pertanyaan atau mengkonstruksi representasi visual dari suatu masalah, memandu para siswa mengembangkan sikap positif terhadap belajar, pemusatan perhatian, mengaitkan informasi baru dengan pengetahuan awal,  menjelaskan bagaimana menghubungkan gagasan-gagasan para siswa, dan pemodelan proses berpikir dengan menunjukan kepada siswa agar mampu berpikir kritis.
          Peran guru adalah menciptakan dan memahani sintaks pembelajaran. Sintaks pembelajaran adalah langkah-langkah operasional yang dijabarkan berdasarkan teori desain pembelajaran. Sintaks pembelajaran yang berdasarkan paham konstruktivistik seringkali mengalami adapatasi sesuai dengan kebutuhan. Hal ini menjadi penting untuk menyempurnakan yang rekursif, fleksibel, dan dinamis.