RESENSI BUKU
Judul buku :
Emotional Intelligence
Penulis :
Daniel Goleman
Judul terjemahan :
Kecerdasan Emosional
Alih bahasa :
T. Hermaya
Tahun terbit :
1997
Tebal :
497 halaman
Penerbit :
PT Gramedia Pustaka Utama
Penulisan buku dilatar belakangi
terkuaknya cara kerja otak diantaranya bagaimana sel-sel bekerja sementara kita
berpikir dan merasa, berimajinasi dan bermimpi. Pemahaman mengenai cara kerja
emosi dan kelemahan emosi yang tidak pernah terjadi sebelumnya ini membawa kita
ke suatu fokus mengenai pola penanggulangan baru bagi krisis emosi masyarakat.
Emosi merupakan wilayah yang pada umumnya tak terjelajah oleh psikologi ilmiah.
Pokok
bahasan yang termuat dalam buku ini yaitu bagian satu berisi otak emosional
meliputi apa kegunaan emosi dan anatomi pembajakan emosi. Bagian dua berisi
ciri-ciri kecerdasan emosional meliputi kapan yang pintar itu bodoh, kenali
diri anda, budak nafsu, kecakapan utama, akar empati, dan seni sosial. Bagian
tiga berisi penerapan kecerdasan emosional meliputi musuh-musuh keintiman,
manajemen dengan berpatokan pada perasaan, pikiran dan pengobatan. Bagian empat
berisi kesempatan emas meliputi wadah penggodokan keluarga, trauma dan
pembajakan ulang emosi, dan tempramen buakanlah suratan takdir. Bagian lima berisi
kecakapan emosional meliputi keruguian buta emosi dan pendidikan emosi.
Hubungan
bagian satu hingga bagian lima yaitu dengan mengenali otak emosional akan
memahami ciri-ciri kecerdasan emosional kemudian terjadilah penerapan
kecerdasan emosional dengan memanfaatkan kesempatan emas sehingga melahirkan
kecakapan emosional.
Cara
kerja otak emosional pertama-tama sinyal visual dikirim dari retina ke talamus
yang bertugas menerjemahkan sinyal itu ke dalam bahasa otak. Sebagian besar
otak itu kemudian ke korteks visual yang menganalisis dan menentukan makana dan
respons yang cocok; jika respons bersifat emosional, suatu sinyal dikirim ke
amigdala untuk mengaktifkan pusat emosi. Tetapi, sebagian kecil sinyal asli
langsung menuju amigdala dari talamus
dengan trasnsmisi yang lebih cepat,
sehingga memungkinkan adanya respons yang lebih cepat meski kurang akurat.
Jadi, amigdala dapat memicu suatu respons emosional sebelum pusat-pusat korteks
memahami betul apa yang terjadi.
Menurut
Mayer, orang cenderung menganut gaya-gaya khas dalam menangani dan mengatasi
emosi mereka:
1.
Sadar diri. Peka akan suasana hati
mereka ketika mengalaminya. Dapat dimengerti bila orang-orang ini memiliki
kepintaran tersendiri dalam kehidupan emosional mereka. Kejernihan pikiran
tentang emosi boleh jadi melandasi ciri-ciri kepribadian antara lain: mereka
mandiri dan yakin akan batas-batas yang mereka bangun, kesehatan jiwanya bagus,
dan cenderung berpendapat positif akan kehidupan. Bila suasana hatinya sedang
jelek, mereka tidak risau dan tidak larut ke dalamnya, dan mereka mampu
melepaskan diri dari suasana itu dengan lebih cepat. Pendek kata, ketajaman
pola pikir mereka menjadi penolong untuk mengatur emosi.
2.
Tenggelam dalam perasaan. Mereka adalah
orang-orang yang sering kali merasa dikuasai oleh emosi dan tak berdaya untuk
melepaskan diri, seolah-olah suasana hati mereka telah mengambil alih
kekuasaan. Mereka mudah marah dan amat tidak peka akan perasaannya, sehingga
larut dalam perasaan-perasaan itu dan bukannya mencari prespektif baru.
Akibatnya, mereka kurang berupaya melepaskan diri dari suasana hati yang jelek,
merasa tidak mempunyai kendali atas kehidupan emosional mereka. Seringkali
mereka merasa kalah dan secara emosional lepas kendali.
3.
Pasrah. Meskipun seringkali orang-orang
ini peka akan apa yang mereka rasakan, mereka juga juga cenderung menerima
begitu saja suasana hati mereka, sehingga tidak berusaha untuk merubahnya.
Kelihatannya ada dua cabang jenis yang pasrah ini: mereka yang terbiasa dalam
suasana hati yang menyenangkan, dan dengan demikian motivasi untuk mengubahnya
rendah; dan orang-orang yang kendati peka perasaannya, rawan terhadap suasana
hati yang jelek tetapi menerimanya dengan dengan sikap tidak hirau, tak
melakukan apapun untuk mengubahnya meskipun tertekan. Pola yang ditemukan
misalnya pada orang yang menderita depresi dan yang tenggelam dalam
keputusasaan.
Reaksi yang terjadi pada nomor dua dan tiga dikenal oleh
para psikiater sebagai gejala utama gangguan stres pasca trauma, atau PTSD (post
traumatic stress disorder).
Setiap peristiwa yang menimbulkan trauma dapat menanamkan
ingatan-ingatan pemicu di amigdala. Jejak rasa takut dalam ingatan dan sikap
terlalu waspada yang ditimbulkannya dapat berlangsung seumur hidup. Ketidak
berdayaan sebagai pemicu PTSD telah dibuktikan dalam banyak penelitian.
Perubahan-perubahan saraf pada PTSD agaknya juga membuat seorang lebih mudah
mengalami trauma lebih lanjut. Semua perubahan saraf ini memberikan
keuntungan-keuntungan jangka pendek untuk mengatasi keadaan darurat yang menegangkan
dan hebat yang memicunya. Dibawah tekanan, sangatlah menguntungkan untuk
menjadi sangat waspada, mudah bangkit emosinya, siap menghadapi segala sesuatu,
tak mudah merasa sakit, tubuh dipersiapkan untuk menanggung tuntukan fisik yang
berkelanjutan, bila ditinjau dari sisi lain merupakan peristiwa yang
mengganggu.
Keuntungan jangka pendek ini menjadi masalah permanen
bila otak berubah sedemikian rupa sehingga perubahan-perubahan itu menjadi
sikap dasar. Ketika amigdala dan wilayah otak yang berkaitan dengannya disetel
pada titik baru selama terjadinya traumadahsyat, perubahan dalam gugahan
kesiapsiagaan lebih tinggi untuk memicu pembajakan saraf mengandung arti bahwa
semua kehidupan berada pada ambang keadaan darurat, dan bahkan saat yang tidak
berbahaya dapat menimbulkan ledakan rasa takut.
Salah satu cara yang tampaknya bisa membuat penyembuhan
emosional ini berlangsung secara sepontan—sekurang-kurangnya pada
anak-anak—adalah melalui permainan-permainan. Permainan ini, yang dimainkan
berulang kali, membuat anak –anak menghayati kembali sebuah trauma dengan
perasaan aman, trauma penyembuhan: di satu pihak, ingatan tadi diulangi dalam
konteks kecemasan tingkat rendah, sehingga menumpulkannya dan memungkinkan
suatu rangkaian tanggapan non traumatik untuk disosialisasikan dengannya. Jalur
penyembuhan lain adalah bahwa permainan diakhiri dengan kemenangan sehingga
mempertebal rasa penguasaan mereka atas traumatik yang membuat mereka tak
berdaya itu.
Sementara orang dewasa yang mengalmi
trauma mengerikan dapat mengalami mati rasa
kejiwaan, yaitu menghilangnya ingatan
atau perasaan mengenai malapetaka tersebut.
Langkah-langkah menuju pemulihan trauma menurut Herman
terbagi menjadi tiga tahap: mencapai perasaan aman, mengingat detail-detail
trauma dan berduka atas kehilangan yang ditimbulkannya, yang terakhir menata
ulang kehidupan agar normal kembali.
Unsur-unsur yang membangun kecerdasan
emosional yaitu:
1. Keterampilan
Emosional
a. Mengidentifikasi
dan memberi nama perasaan-perasaan
b. Mengungkapkan
perasaan
c. Menilai
intensitas perasaan
d. Mengelola
perasaan
e. Menunda
pemuasan
f. Mengendalikan
dorongan hati
g. Mengurang
stress
h. Mengetahui
perbedaan antara perasaan dan tindakan
2. Keterampilan
Kognitif
a. Bicara
sendiri—melakukan “dialog batin” sebagai cara untuk menghadapi suatu masalah
atau menentang atau memperkuat perilaku diri sendiri.
b. Membaca dan
menafsirkan isyarat-isyarat sosial—misalnya, mengenali pengaruh sosial terhadap
perilaku dan melihat diri sendiri dalam presperktif masyarakat yang lebih luas.
c. Menggunakan
langkah-langkah bagi penyelesaian masalah dan pengambilan keputusan—misalnya
mengendalikan dorongan hati, menentukan sasaran, mengidentifikasi
tindakan-tindakan alternatif, memperhitungkan akibat-akibat yang mungkin.
d. Memahami sudut
pandang orang lain.
e. Memahami sopan
santun (perilaku mana yang dapat diterima dan yang tidak).
f. Sikap yang
positif terhadap kehidupan.
g. Kesadaran
diri—misalnya, mengembangkan harapan-harapan yang realistis tentang diri
sendiri
3. Keterampilan
Perilaku
a. Nonverbal—berkomunikasi
melalui hubungan mata, ekspresi wajah, nada suara, gerak-gerik, dan seterusnya.
b. Verbal—mengajukan
permintaan-permintaan dengan jelas, menanggapi kritik secara efektif, menolak
pengaruh negatif, mendengarkan orang lain, menolong sesama, ikut serta dalam
kelompok-kelompok yang positif
Tujuan dari memahami kecerdasan
emosional yaitu:
1. Kesadaran diri
emosional
a. Perbaikan dalam
mengenali dan merasakan emosinya sendiri
b. Lebih mampu
memahami penyebab perasaan yang timbul
c. Mengenali
perbedaan perasaan dengan tindakan
2. Mengelola Emosi
a. Toleransi yang
lebih tinggi terhadap frustasi dan pengelolaan amarah
b. Berkurangnya
ejekan verbal, perkelahian, dan gangguan di ruang kelas
c. Lebih mampu
mengunggkapkan amarah dengan tepat, tanpa berkelahi
d. Berkurangnya
hukuman
e. Berkurangnya
perilaku agresif atau merusak diri sendiri
f. Perasaan yang
lebih positif tentang diri sendiri dan orang lain
g. Lebih baik
dalam menangani ketegangan jiwa
h. Berkurangnya
kesepian dan kecemasan dalam pergaulan
3. Manfaat Emosi
Secara Produktif
a. Lebih
bertanggung jawab
b. Lebih mampu
memusatkan perhatian pada tugas yang dikerjakan dan menaruh perhatian
c. Kurang
implusif; lebih menguasai diri
d. Nilai pada
tes-tes prestasi meningkatkan
4. Empati: membaca
emosi
a. Lebih mampu
menerima sudut pandang orang lain
b. Memperbaiki
empati dan kepekaan terhadap perasaan orang lain
c. Lebih baik
dalam mendengrkan orang lain
5. Membina
Hubungan
a. Meningkatkan
kemampuan menganalisis dan memahami hubungan
b. Lebih baik
dalam menyelesaikan pertikaian dan merundingkan persengketaan
c. Lebih baik
dalam menyelesaikan persoalan yang timbul dalam hubungan.
d. Lebih tegas dan
terampil dalam komunikasi.
e. Lebih populer
dan mudah bergaul, bersahabat dan terlibat dengan teman sebaya.
f. Lebih
dibutuhkan oleh teman sebaya.
g. Lebih meneruh
perhatian dan bertenggang rasa.
h. Lebih
memikirkan kepentingan sosial dan selaras dalam kelompok.
i.
Lebih suka berbagi rasa, bekerja sama,
dan suka menolong.
j.
Lebih demokratis dalam bergaul dengan
orang lain
Kelebihan dalam
buku karya Daniel Goleman:
1. Menyajikan
contoh permasalahan sehingga mudah dipahami.
2. Menjelaskan
penemuan yang dimilikinya secara ilmiah.
3. Mampu membuat
pembaca mengembangkan pemikirannya.
4. Menyajikan
penyelesaian pada setiap permasalahan.
Kekurangan
dalam buku karya Daniel Goleman:
1. Ada
permasalahan yang penyelesaiannya belum tuntas
2. Pada sebagian
bab terlalu banyak contoh cerita tetapi solusinya kurang.
3. Terlalu
bertele-tele dalam memaparkan teori.
4. Dalam setiap
penyelesaian masalah tidak pernah dikaitkan dengan macam kecerdasan lain
misalnya kecerdasan spiritual. Karena pemikiran dapat mengimbangi emosi dan
keduanya dapat diolah dengan kecerdasan spiritual yang baik.
5. Belum
dilengkapi dengan cara mengoptimalkan kecerdasan emosional.
Buku ini baik
dibaca untuk kalangan pendidik maupun umum, terutama bagi mahasiswa yang
seharusnya memahami ilmu-ilmu perilaku. Sehingga dapat mengimbangi potensi yang
telah dimiliki dengan adanya pengendalian diri. Agar hasil kecerdasan lebih
baik perlu diimbangi dengan membaca buku kecerdasan lain.
Mbaknya cantik baik dan pandai
BalasHapusDiterbitkan di kota mana ya
BalasHapus