Rabu, 13 Mei 2015

Resensi Buku Daniel Goleman Emotional Intelligence

RESENSI BUKU

Judul buku                  : Emotional Intelligence
Penulis                         : Daniel Goleman
Judul terjemahan         : Kecerdasan Emosional
Alih bahasa                 : T. Hermaya
Tahun terbit                 : 1997
Tebal                           : 497 halaman
Penerbit                       : PT Gramedia Pustaka Utama

Penulisan buku dilatar belakangi terkuaknya cara kerja otak diantaranya bagaimana sel-sel bekerja sementara kita berpikir dan merasa, berimajinasi dan bermimpi. Pemahaman mengenai cara kerja emosi dan kelemahan emosi yang tidak pernah terjadi sebelumnya ini membawa kita ke suatu fokus mengenai pola penanggulangan baru bagi krisis emosi masyarakat. Emosi merupakan wilayah yang pada umumnya tak terjelajah oleh psikologi ilmiah.
            Pokok bahasan yang termuat dalam buku ini yaitu bagian satu berisi otak emosional meliputi apa kegunaan emosi dan anatomi pembajakan emosi. Bagian dua berisi ciri-ciri kecerdasan emosional meliputi kapan yang pintar itu bodoh, kenali diri anda, budak nafsu, kecakapan utama, akar empati, dan seni sosial. Bagian tiga berisi penerapan kecerdasan emosional meliputi musuh-musuh keintiman, manajemen dengan berpatokan pada perasaan, pikiran dan pengobatan. Bagian empat berisi kesempatan emas meliputi wadah penggodokan keluarga, trauma dan pembajakan ulang emosi, dan tempramen buakanlah suratan takdir. Bagian lima berisi kecakapan emosional meliputi keruguian buta emosi dan pendidikan emosi.
            Hubungan bagian satu hingga bagian lima yaitu dengan mengenali otak emosional akan memahami ciri-ciri kecerdasan emosional kemudian terjadilah penerapan kecerdasan emosional dengan memanfaatkan kesempatan emas sehingga melahirkan kecakapan emosional.
            Cara kerja otak emosional pertama-tama sinyal visual dikirim dari retina ke talamus yang bertugas menerjemahkan sinyal itu ke dalam bahasa otak. Sebagian besar otak itu kemudian ke korteks visual yang menganalisis dan menentukan makana dan respons yang cocok; jika respons bersifat emosional, suatu sinyal dikirim ke amigdala untuk mengaktifkan pusat emosi. Tetapi, sebagian kecil sinyal asli langsung  menuju amigdala dari talamus dengan trasnsmisi yang  lebih cepat, sehingga memungkinkan adanya respons yang lebih cepat meski kurang akurat. Jadi, amigdala dapat memicu suatu respons emosional sebelum pusat-pusat korteks memahami betul apa yang terjadi.
            Menurut Mayer, orang cenderung menganut gaya-gaya khas dalam menangani dan mengatasi emosi mereka:
1.      Sadar diri. Peka akan suasana hati mereka ketika mengalaminya. Dapat dimengerti bila orang-orang ini memiliki kepintaran tersendiri dalam kehidupan emosional mereka. Kejernihan pikiran tentang emosi boleh jadi melandasi ciri-ciri kepribadian antara lain: mereka mandiri dan yakin akan batas-batas yang mereka bangun, kesehatan jiwanya bagus, dan cenderung berpendapat positif akan kehidupan. Bila suasana hatinya sedang jelek, mereka tidak risau dan tidak larut ke dalamnya, dan mereka mampu melepaskan diri dari suasana itu dengan lebih cepat. Pendek kata, ketajaman pola pikir mereka menjadi penolong untuk mengatur emosi.
2.      Tenggelam dalam perasaan. Mereka adalah orang-orang yang sering kali merasa dikuasai oleh emosi dan tak berdaya untuk melepaskan diri, seolah-olah suasana hati mereka telah mengambil alih kekuasaan. Mereka mudah marah dan amat tidak peka akan perasaannya, sehingga larut dalam perasaan-perasaan itu dan bukannya mencari prespektif baru. Akibatnya, mereka kurang berupaya melepaskan diri dari suasana hati yang jelek, merasa tidak mempunyai kendali atas kehidupan emosional mereka. Seringkali mereka merasa kalah dan secara emosional lepas kendali.
3.      Pasrah. Meskipun seringkali orang-orang ini peka akan apa yang mereka rasakan, mereka juga juga cenderung menerima begitu saja suasana hati mereka, sehingga tidak berusaha untuk merubahnya. Kelihatannya ada dua cabang jenis yang pasrah ini: mereka yang terbiasa dalam suasana hati yang menyenangkan, dan dengan demikian motivasi untuk mengubahnya rendah; dan orang-orang yang kendati peka perasaannya, rawan terhadap suasana hati yang jelek tetapi menerimanya dengan dengan sikap tidak hirau, tak melakukan apapun untuk mengubahnya meskipun tertekan. Pola yang ditemukan misalnya pada orang yang menderita depresi dan yang tenggelam dalam keputusasaan.

Reaksi yang terjadi pada nomor dua dan tiga dikenal oleh para psikiater sebagai gejala utama gangguan stres pasca trauma, atau PTSD (post traumatic stress disorder).
Setiap peristiwa yang menimbulkan trauma dapat menanamkan ingatan-ingatan pemicu di amigdala. Jejak rasa takut dalam ingatan dan sikap terlalu waspada yang ditimbulkannya dapat berlangsung seumur hidup. Ketidak berdayaan sebagai pemicu PTSD telah dibuktikan dalam banyak penelitian. Perubahan-perubahan saraf pada PTSD agaknya juga membuat seorang lebih mudah mengalami trauma lebih lanjut. Semua perubahan saraf ini memberikan keuntungan-keuntungan jangka pendek untuk mengatasi keadaan darurat yang menegangkan dan hebat yang memicunya. Dibawah tekanan, sangatlah menguntungkan untuk menjadi sangat waspada, mudah bangkit emosinya, siap menghadapi segala sesuatu, tak mudah merasa sakit, tubuh dipersiapkan untuk menanggung tuntukan fisik yang berkelanjutan, bila ditinjau dari sisi lain merupakan peristiwa yang mengganggu.
Keuntungan jangka pendek ini menjadi masalah permanen bila otak berubah sedemikian rupa sehingga perubahan-perubahan itu menjadi sikap dasar. Ketika amigdala dan wilayah otak yang berkaitan dengannya disetel pada titik baru selama terjadinya traumadahsyat, perubahan dalam gugahan kesiapsiagaan lebih tinggi untuk memicu pembajakan saraf mengandung arti bahwa semua kehidupan berada pada ambang keadaan darurat, dan bahkan saat yang tidak berbahaya dapat menimbulkan ledakan rasa takut.
Salah satu cara yang tampaknya bisa membuat penyembuhan emosional ini berlangsung secara sepontan—sekurang-kurangnya pada anak-anak—adalah melalui permainan-permainan. Permainan ini, yang dimainkan berulang kali, membuat anak –anak menghayati kembali sebuah trauma dengan perasaan aman, trauma penyembuhan: di satu pihak, ingatan tadi diulangi dalam konteks kecemasan tingkat rendah, sehingga menumpulkannya dan memungkinkan suatu rangkaian tanggapan non traumatik untuk disosialisasikan dengannya. Jalur penyembuhan lain adalah bahwa permainan diakhiri dengan kemenangan sehingga mempertebal rasa penguasaan mereka atas traumatik yang membuat mereka tak berdaya itu.
Sementara orang dewasa yang mengalmi trauma mengerikan dapat mengalami mati rasa
kejiwaan, yaitu menghilangnya ingatan atau perasaan mengenai malapetaka tersebut.
Langkah-langkah menuju pemulihan trauma menurut Herman terbagi menjadi tiga tahap: mencapai perasaan aman, mengingat detail-detail trauma dan berduka atas kehilangan yang ditimbulkannya, yang terakhir menata ulang kehidupan agar normal kembali.
Unsur-unsur yang membangun kecerdasan emosional yaitu:
1.      Keterampilan Emosional
a.       Mengidentifikasi dan memberi nama perasaan-perasaan
b.      Mengungkapkan perasaan
c.        Menilai intensitas perasaan
d.      Mengelola perasaan
e.       Menunda pemuasan
f.       Mengendalikan dorongan hati
g.      Mengurang stress
h.      Mengetahui perbedaan antara perasaan dan tindakan
2.      Keterampilan Kognitif
a.       Bicara sendiri—melakukan “dialog batin” sebagai cara untuk menghadapi suatu masalah atau menentang atau memperkuat perilaku diri sendiri.
b.      Membaca dan menafsirkan isyarat-isyarat sosial—misalnya, mengenali pengaruh sosial terhadap perilaku dan melihat diri sendiri dalam presperktif masyarakat yang lebih luas.
c.       Menggunakan langkah-langkah bagi penyelesaian masalah dan pengambilan keputusan—misalnya mengendalikan dorongan hati, menentukan sasaran, mengidentifikasi tindakan-tindakan alternatif, memperhitungkan akibat-akibat yang mungkin.
d.      Memahami sudut pandang orang lain.
e.       Memahami sopan santun (perilaku mana yang dapat diterima dan yang tidak).
f.       Sikap yang positif terhadap kehidupan.
g.      Kesadaran diri—misalnya, mengembangkan harapan-harapan yang realistis tentang diri sendiri
3.      Keterampilan Perilaku
a.       Nonverbal—berkomunikasi melalui hubungan mata, ekspresi wajah, nada suara, gerak-gerik, dan seterusnya.
b.      Verbal—mengajukan permintaan-permintaan dengan jelas, menanggapi kritik secara efektif, menolak pengaruh negatif, mendengarkan orang lain, menolong sesama, ikut serta dalam kelompok-kelompok yang positif

Tujuan dari memahami kecerdasan emosional yaitu:
1.      Kesadaran diri emosional
a.       Perbaikan dalam mengenali dan merasakan emosinya sendiri
b.      Lebih mampu memahami penyebab perasaan yang timbul
c.       Mengenali perbedaan perasaan dengan tindakan
2.      Mengelola Emosi
a.       Toleransi yang lebih tinggi terhadap frustasi dan pengelolaan amarah
b.      Berkurangnya ejekan verbal, perkelahian, dan gangguan di ruang kelas
c.       Lebih mampu mengunggkapkan amarah dengan tepat, tanpa berkelahi
d.      Berkurangnya hukuman
e.       Berkurangnya perilaku agresif atau merusak diri sendiri
f.       Perasaan yang lebih positif tentang diri sendiri dan orang lain
g.      Lebih baik dalam menangani ketegangan jiwa
h.      Berkurangnya kesepian dan kecemasan dalam pergaulan
3.      Manfaat Emosi Secara Produktif
a.       Lebih bertanggung jawab
b.      Lebih mampu memusatkan perhatian pada tugas yang dikerjakan dan menaruh perhatian
c.       Kurang implusif; lebih menguasai diri
d.      Nilai pada tes-tes prestasi meningkatkan
4.      Empati: membaca emosi
a.       Lebih mampu menerima sudut pandang orang lain
b.      Memperbaiki empati dan kepekaan terhadap perasaan orang lain
c.       Lebih baik dalam mendengrkan orang lain
5.      Membina Hubungan
a.       Meningkatkan kemampuan menganalisis dan memahami hubungan
b.      Lebih baik dalam menyelesaikan pertikaian dan merundingkan persengketaan
c.       Lebih baik dalam menyelesaikan persoalan yang timbul dalam hubungan.
d.      Lebih tegas dan terampil dalam komunikasi.
e.       Lebih populer dan mudah bergaul, bersahabat dan terlibat dengan teman sebaya.
f.       Lebih dibutuhkan oleh teman sebaya.
g.      Lebih meneruh perhatian dan bertenggang rasa.
h.      Lebih memikirkan kepentingan sosial dan selaras dalam kelompok.
i.        Lebih suka berbagi rasa, bekerja sama, dan suka menolong.
j.        Lebih demokratis dalam bergaul dengan orang lain

Kelebihan dalam buku karya Daniel Goleman:
1.      Menyajikan contoh permasalahan sehingga mudah dipahami.
2.      Menjelaskan penemuan yang dimilikinya secara ilmiah.
3.      Mampu membuat pembaca mengembangkan pemikirannya.
4.      Menyajikan penyelesaian pada setiap permasalahan.

Kekurangan dalam buku karya Daniel Goleman:
1.      Ada permasalahan yang penyelesaiannya belum tuntas
2.      Pada sebagian bab terlalu banyak contoh cerita tetapi solusinya kurang.
3.      Terlalu bertele-tele dalam memaparkan teori.
4.      Dalam setiap penyelesaian masalah tidak pernah dikaitkan dengan macam kecerdasan lain misalnya kecerdasan spiritual. Karena pemikiran dapat mengimbangi emosi dan keduanya dapat diolah dengan kecerdasan spiritual yang baik.
5.      Belum dilengkapi dengan cara mengoptimalkan kecerdasan emosional.

Buku ini baik dibaca untuk kalangan pendidik maupun umum, terutama bagi mahasiswa yang seharusnya memahami ilmu-ilmu perilaku. Sehingga dapat mengimbangi potensi yang telah dimiliki dengan adanya pengendalian diri. Agar hasil kecerdasan lebih baik perlu diimbangi dengan membaca buku kecerdasan lain.

2 komentar: